Aminasi merupakan
proses pereaksian grup amino (-NH2) dengan bahan organik. Selama bertahun-tahun tahapan pereaksian grup
amino ke molekul alkil diawali dengan menambahkan grup nitro (-NO2),
dan selanjutnya dilakukan proses pereduksian hingga menjadi grup amino (-NH2). Proses pereduksian ini harus dilakukan pada tekanan tinggi dengan bantuan
katalis. Tanpa tekanan tinggi dan
katalis, pereduksian harus dilakukan dengan menggunakan reagen yang berfungsi
di bawah tekanan atmosfir, seperti besi dan asam, seng dan alkali, sodium
sulfida atau polisulfida, sodium hidrosulfit, electrolytic hydrogen,
dan hidrat logam. Proses aminasi juga
dapat dilakukan dengan menggunakan amoniak (NH3). Reaksi aminasi menggunakan amoniak dilakukan
untuk menghasilkan amina alifatik dan amina aromatik.
Monday, June 29, 2015
Oleokimia Dasar: Fatty Alkohol
Fatty alcohol merupakan bahan dasar utama pembuat
surfaktan untuk kebutuhan detergen dan personal care, pada pertumbuhannya
penggunaan fatty alkohol menjadikan kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Fatty alkohol ini sangat difavoritkan untuk menjadi
sumber utama pembuat surfaktan karena sifatnya yang biodegradable dan
renewable, sebetulnya fatty alkohol pun dapat dibuat dari minyak bumi, karena
tren perminetaan lebih ke arah minyak nabati, maka yang paling bagus menurut
Gregorio (2005) adalah yang berasal dari asam laurat, yang sekarang banyak
dikembangkan di negara-negara tropis seperti indonesia.
Pembuatan fatty alkohol dapat melalui 3 cara yaitu dengan
transesterifkasi kemudian dihidrogenasi, esterifikasi kemudian di hidrogenasi,
atau dapat dengan cara langsung menghidrogenasi minyak.
Prinsip pembuatan fatty
alkohol adalah reaksi hidrogenasi. Yang dihidrogenasi bisa berupa asam lemak,
lemak (trigliserida) dan metil ester. Reaksinya dibantu dengan katalis, seperti
copper
chromite, nickel, zinc, Mangan, Cobalt, mercury, dan lain-lain.
Bila bahan yang
digunakan berupa asam lemak, alkohol yang dihasilkan dapat direcovery akan
tetapi senyawa asam ini menyebabkan korosi terhadap peralatan produksi. Sedangkan bila yang digunakan gliserida akan
menghasilkan by produk berupa gliserol tapi sifatnya tidak stabil sehingga
tidak dapat direcovery, tapi kebanyakan gliserida yang dipilih sebagai bahan
baku karena alasan convenience dan
biaya yang lebih rendah.
Fatty
alkohol menghasilkan banyak produk turunan seperti poliglikol eter, fatty
alkhohol sulfat, etoksilat, sulfosusinat, eter posfat, eter sulfat dan
alkoksilat .
Referensi:
Austin, G.
T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. 5th Ed. McGraw-Hill
Book Company. New York .Hartley,
C.W. 1977. The Oil Palm (Elaeis
guineensis Jacq). 2nd Ed. Longman Group Limited. New York .
Buana, L.,
D. Siahaan dan S. Adiputra. 2003. Teknologi
Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Medan.
Gunstone,
F.D. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and
Uses. Blackwill Publishing Ltd. Victoria .
Hambali, E.,
A. Suryani dan Yuslinawati. 2005. Prosiding
Seminar Nasional Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit untuk Industri.
Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi. LPPM-IPB. Bogor
Hui, Y.H.
1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products., 5th ed. Vol.
2, 3 & 4, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York .
Ketaren S.
1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan.
UI Press. Jakarta
Naibaho,
P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan .
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Poeloengan, Z., L. Buana dan Darnoko. 2000. Potensi
Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia. WARTA Pusat Pengembangan
Kelapa Sawit (PPKS). Vol. 8.
Medan.
Salunkhe, D.K..
1992.World Oil Seed: Chemistry Teknology and Utilization, AVI Book, New York .
Oleokimia Dasar: Metil Ester
Metil ester dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi
asam lemak atau transesterifikasi trigliserida. Esterifikasi adalah reaksi antara asam lemak dengan
alkohol dengan bantuan katalis untuk membentuk ester. Umumnya katalis yang
digunakan adalah katalis asam seperti asam sulfat. Reaksi esterifikasi bersifat
dapat balik (reversible), sehingga jumlah air harus dibuang untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan dan untuk mendapatkan
rendemen ester yang tinggi (Hui, 1996). Reaksi esterifikasi asam lemak untuk menghasilkan
metil ester dapat dilihat sebagai berikut.
RCOOH + R`OH
asam RCOOR` + H2O
Asam lemak alkohol katalis ester air
Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol
dari suatu ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai
hidrolisis. Namun berbeda dengan hidrolisis, pada proses transesterifikasi yang
digunakan bukanlah air melainkan alkohol. Reaksi pemisahan ester menggunakan
alkohol lebih spesifik disebut alkoholis. Pada reaksi ini terbentuk ester baru. Umumnya katalis yang digunakan
adalah sodium metilat, NaOH atau KOH. Transesterifikasi merupakan suatu reaksi
kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan maka perlu
digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan
harus dipisahkan (Hui, 1996). Reaksi
transesterifikasi ester dengan alkohol
untuk menghasilkan ester jenis baru dapat dilihat seperti di bawah ini.
RCOOR + R`OH
NaOH RCOOR` +
R`OH
Ester alkohol katalis ester alkohol
Menurut Hui (1996) transesterifikasi merupakan
istilah yang umum. Lebih sepesifiknya, apabila larutan metanol yang digunakan,
maka reaksi yang terjadi disebut metanolisis. Metanol umum digunakan karena
harganya lebih murah, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan
jenis alkohol lainnya.
Menurut Gregorio C Grevarjio dalam buku Bailey
Industrial Fat and Oil Menyatakan bahwa metil ester memiliki beberapa kelebihan
yang membuat metil ester lebih populer dibandingkan dengan oleokimia yang lain diantaranya:
1. Dalam memproduksi metil ester energi yang dibutuhkan
itu sangat minimal jika dibandingkan dengan memproduksi dan memisahkan jenis
asam lemak tertentu
2. Sifat metil ester yang tidak corrosive memudahkan
untuk penggunaan alat-alat yang tidak terlalu mahal, disamping itu pula dalam
memproduksi metil ester tidak diperlukan suhu dan tekanan yang tinggi,
memudahkan pula dalam transportasi karena tidak memerukan perlakuan khusus.
3. menghasilkan by produk berupa larutan glyserol yang
lebih kental
4. mudah dalam memfraksinasinya karena memiliki titik
didih yang rendah.
.
Metil ester melalui reaksi tertentu akan menghasilkan produk turunan lagi.
Metil ester jika mengalami hidrogenasi akan menghasilkan fatty alkohol, dengan
sulfonasi akan menghasilkan metil ester sulfonat dan melalui proses amidasi
akan menghasilkan asam lemak alkanolamid
Referensi:
Austin, G.
T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. 5th Ed. McGraw-Hill
Book Company. New York .Hartley,
C.W. 1977. The Oil Palm (Elaeis
guineensis Jacq). 2nd Ed. Longman Group Limited. New York .
Buana, L.,
D. Siahaan dan S. Adiputra. 2003. Teknologi
Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Medan.
Gunstone,
F.D. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and
Uses. Blackwill Publishing Ltd. Victoria .
Hambali, E.,
A. Suryani dan Yuslinawati. 2005. Prosiding
Seminar Nasional Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit untuk Industri.
Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi. LPPM-IPB. Bogor
Hui, Y.H.
1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products., 5th ed. Vol.
2, 3 & 4, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York .
Ketaren S.
1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan.
UI Press. Jakarta
Naibaho,
P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan .
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Poeloengan, Z., L. Buana dan Darnoko. 2000. Potensi
Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia. WARTA Pusat Pengembangan
Kelapa Sawit (PPKS). Vol. 8.
Medan.
Salunkhe, D.K..
1992.World Oil Seed: Chemistry Teknology and Utilization, AVI Book, New York .
Oleokimia Dasar : Asam Lemak dan Gliserol
Asam lemak dan gliserol merupakan senyawa
penyusun trigliserida pada lemak/minyak. Oleh karena itu, asam lemak dan gliserol
dapat diperoleh dengan menghidrolisis trigliserida (fat splitting).
Reaksi air dengan minyak/lemak menyebabkan putusnya beberapa ikatan ester dari minyak/lemak. Reaksi ini dapat dipercepat dengan menggunakan suhu dan
tekanan yang tinggi.
Menurut Austin (1984), hidrolisis minyak/lemak (fat
splitting) dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu Twitchell,
Batch Autoclave dan Continuous Countercurrent. Perbandingan ketiga metode
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan beberapa metode fat splitting
|
TWITCHELL
|
BATCH AUTOCLAVE
|
CONTINUOUS
COUNTERCURRENT
|
|
Temperatur,
oC
|
100 - 105
|
150 - 175
|
240
|
250
|
Tekanan,
MPag
|
|
5,2 - 10,0
|
2,9 - 3,1
|
4,1 - 4,9
|
Katalis
|
Alkyl-aryl
sulfonic acids atau cycloaliphatic sulfonic acids
|
Zinc,
calcium atau magnesium oxides,
1 – 2%
|
Tanpa
katalis
|
Optional
|
Lama, jam
|
12 – 48
|
5 – 10
|
2 – 4
|
2 – 3
|
Sistem operasi
|
Batch
|
Batch
|
|
Continuous
|
Terhidrolisa
|
85 – 95%
Diperoleh
5 – 15% larutan gliserol, tergantung banyaknya tahap dan jenis lemak
|
85 – 98%
Diperoleh
10 – 15% gliserol, tergantung banyaknya tahap dan jenis lemak
|
97 – 99%
Diperoleh
10 – 25% gliserol tergantung jenis lemak
|
|
Kelebihan
|
Temperatur dan tekanan yang digunakan rendah, dapat digunakan pada
skala kecil, biaya awal rendah karena relatif sederhana dan peralatannya
tidak mahal
|
Dapat digunakan pada skala kecil, biaya awal lebih rendah untuk skala
kecil dibandingkan sistem continuous, lebih cepat dibandingkan Twitchell
|
Ruangan yang digunakan kecil, kualitas produk seragam, yield asamnya
tinggi, konsentrasi gliserin tinggi, biaya tenaga kerja rendah, lebih akurat
dan menggunakan kontrol otomatis, biaya tahunan lebih rendah.
|
|
Kekurangan
|
Perlu penanganan katalis, waktu reaksi lama, lemak kualitas rendah
harus dimurnikan dulu dari asamnya untuk menghindari penghambatan katalis,
konsumsi uap tinggi, asam yang terbentuk berwarna gelap, butuh lebih dari
satu tahap untuk dapat yield dan konsentrasi gliserin yang tinggi, tidak
dapat menggunakan kontrol otomatis, biaya tenaga kerja tinggi
|
Biaya awal tinggi, perlu penanganan katalis, reaksi lebih lama
dibandingkan continuous, tidak dapat menggunakan kontrol otomatis, biaya
tenaga kerja tinggi, butuh lebih dari satu tahap untuk mendapat yield dan
konsentrasi gliserin yang tinggi
|
Biaya awal tinggi, Temperatur
dan tekanan yang digunakan tinggi, memerlukan kemampuan operasi yang lebih
baik
|
Menurut Gervasio (1996), selain tiga cara yang telah
disebutkan di atas (Twitchell, Batch Autoclave dan Continuous Countercurrent)
yang prinsipnya hidrolisis dengan suhu dan tekanan tinggi, lemak dan minyak dapat dihidrolisis dengan
bantuan enzim. Enzim pemecah lemak diperoleh dari Candida rugosa, Aspergillus niger dan Rhizopus arrhizu. Pemecahan lemak menggunakan enzim lipolitik
membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu reaksi yang lama sehingga tidak
komersial.
Gliserol yang dihasilkan pada proses fat splitting ini
berupa larutan yang mengandung gliserol 12% yang disebut juga dengan sweet water. Untuk mendapatkan gliserol murni perlu
dihilangkan komponen nongliserol dari larutan tersebut. Evaporasi dilakukan
untuk mengurangi jumlah air sehingga konsentrasi larutan menjadi lebih tinggi
(78%). Evaporasi hanya menghilangkan air, sedangkan komponen nongliserol lain
seperti asam lemak (0,2%) masih terdapat dalam larutan tersebut. Untuk
memisahkannya maka perlu ditambahkan sedikit caustik (senyawa basa) sehingga
terjadi proses penyabunan (saponifikasi) dimana asam lemak akan berubah menjadi
dalam bentuk garam sehingga ketika didestilasi komponen tidak terikut bersama
gliserol. Selain asam lemak, komponen yang akan dihilangkan adalah warna. Oleh
karena itu, dilanjutkan dengan proses bleaching, yaitu dengan menambahkan activated cachoa, yang memiliki
pori-pori aktif yang dapat menyerap warna. Gliserol dapat juga di upgrade dengan proses pertukaran ion (ion-exchange) diikuti dengan evaporasi
sehingga proses destilasi dapat ditiadakan, atau alternatif lain gliserol
diekstrak dari larutan melalui pertukaran ion.
Dengan pemurnian gliserol di atas, akan diperoleh refined glyserol (99%). Diagram alir
pemurnian gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Selain berasal dari proses fat splitting untuk memproduksi asam lemak, gliserol juga merupakan by
product dari beberapa proses industri oleokimia yaitu saponification untuk memproduksi sabun serta transesterification untuk memproduksi
biodiesel (ester asam lemak).
Referensi:
Austin, G.
T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. 5th Ed. McGraw-Hill
Book Company. New York .Hartley,
C.W. 1977. The Oil Palm (Elaeis
guineensis Jacq). 2nd Ed. Longman Group Limited. New York .
Buana, L.,
D. Siahaan dan S. Adiputra. 2003. Teknologi
Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Medan.
Gunstone,
F.D. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and
Uses. Blackwill Publishing Ltd. Victoria .
Hambali, E.,
A. Suryani dan Yuslinawati. 2005. Prosiding
Seminar Nasional Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit untuk Industri.
Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi. LPPM-IPB. Bogor
Hui, Y.H.
1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products., 5th ed. Vol.
2, 3 & 4, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York .
Ketaren S.
1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan.
UI Press. Jakarta
Naibaho,
P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan .
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Poeloengan, Z., L. Buana dan Darnoko. 2000. Potensi
Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia. WARTA Pusat Pengembangan
Kelapa Sawit (PPKS). Vol. 8.
Medan.
Salunkhe, D.K..
1992.World Oil Seed: Chemistry Teknology and Utilization, AVI Book, New York .
Thursday, June 25, 2015
OLEOKIMIA DASAR
Oleokimia adalah bahan kimia yang diturunkan dari minyak
atau lemak melalui proses splitting triasilgliserol menjadi derivat asam-asam
lemaknya dan gliserol. Minyak atau lemak dapat berupa minyak nabati atau hewani
dan proses splitting dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis.
Oleokimia ekuivalen dengan petrokimia, perbedaan utamanya
terletak pada sumber bahan dasarnya. Petrokimia diturunkan dari petroleum atau
minyak bumi/minyak mineral (mineral oil). Posisi petrokimia kini sudah mulai
digantikan oleh oleokimia. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki
oleh oleokimia, yaitu produk yang terbarukan (renewable), biodegradable dan lebih aman yang semuanya berhubungan
dengan masalah lingkungan. Karbondioksida yang dihasilkan dari hasil reaksi
oleokimia terjerat di atmosfer hanya beberapa bulan atau beberapa tahun yang
waktunya lebih cepat dibandikngkan dari hasil reaksi dari petrokimia. Produk
oleokimia juga mudah terdegradasi secara alami dalam waktu yang lebih singkat.
Bahan dasar oleokimia dapat berupa minyak/lemak nabati
dan hewani. Sumber minyak nabati yang dapat digunakan adalah yang tergolong tropical oil, seperti minyak sawit (palm oil), minyak inti sawit (palm
kernel oil) dan minyak kelapa (coconut
oil) dan yang tergolong soft oil, seperti
minyak kedelai (soya oil), sunflower oil, dan rape
oil. Sumber minyak/lemak hewani yang dapat digunakan adalah lemak sapi (tallow),lemak babi (lard) dan unggas (poultry).
Oleokimia yang paling dasar adalah asam-asam lemak dan
gliserol, Asam-asam lemak dan gliserol ini didapat dari trigliserida yang
menjadi unsur penyusun minyak/lemak nabati atau hewani. Oleokimia dasar yang
banyak diproduksi adalah asam lemak (fatty
acid), gliserol, metil (atau golongan
alkil yang lain) ester, fatty alkhohol dan fatty amine. Umumnya, oleokimia
dasar diproduksi oleh negara berkembang yang kemudian bahan tersebut dapat
diproses lebih lanjut menjadi produk akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi.
Proses pembuatan produk turunan minyak/lemak
untuk menjadi produk-produk oleokimia dapat dilakukan proses hidrolisis,
esterifikasi, transesterifikasi, epoksidasi, etoxylasi, konjugasi, sulfatasi,
amidasi, Hidrogenasi, Propoxylasi,
Kajian Penggunaan Edible Coating dari Kitosan untuk Membuat Keripik Nenas Rendah Lemak”
Pemberitaan Ilmiah PERCIKAN 01/2009; 103:113 - 117.
Penulis:
Yernisa dan Fitry Tafzi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Keripik merupakan makanan ringan yang tergolong jenis makanan crackers dan kandungan lemaknya tinggi. Kandungan minyak yang terserap pada keripik dapat merugikan produsen dan konsumen..Salah satu cara untuk menurunkan kandungan lemak pada keripik nenas adalah dengan melapisi permukaan buah nenas dengan suatu film yang dapat dimakan (edible coating). Salah satu bahan edible coating yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan adalah kitosan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penggunaan kitosan sebagai bahan edible coating untuk mengurangi penyerapan minyak pada pembuatan keripik nenas. Perlakuan yang dicobakan adalah konsentrasi keripik nenas yaitu 0; 1 %; 1,5 % dan 2 %. Terhadap keripik nenas yang dihasilkan dilakukan pengamatan terhadap rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar abu, persen keutuhan dan warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keripik nenas yang diberi kitosan menghasilkan rendemen dan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan. Kitosan dapat mengurangi penyerapan minyak selama penggorengan sehingga kadar lemak keripik nenas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan. Tetapi keripik nenas yang diberi kitosan berwarna lebih coklat dan lebih gelap dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan.
Kajian Penggunaan Edible Coating dari Kitosan untuk Membuat Keripik Nenas Rendah Lemak” - ResearchGate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/210256638_Kajian_Penggunaan_Edible_Coating_dari_Kitosan_untuk_Membuat_Keripik_Nenas_Rendah_Lemak [accessed Jun 25, 2015].
Penulis:
Yernisa dan Fitry Tafzi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Keripik merupakan makanan ringan yang tergolong jenis makanan crackers dan kandungan lemaknya tinggi. Kandungan minyak yang terserap pada keripik dapat merugikan produsen dan konsumen..Salah satu cara untuk menurunkan kandungan lemak pada keripik nenas adalah dengan melapisi permukaan buah nenas dengan suatu film yang dapat dimakan (edible coating). Salah satu bahan edible coating yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan adalah kitosan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penggunaan kitosan sebagai bahan edible coating untuk mengurangi penyerapan minyak pada pembuatan keripik nenas. Perlakuan yang dicobakan adalah konsentrasi keripik nenas yaitu 0; 1 %; 1,5 % dan 2 %. Terhadap keripik nenas yang dihasilkan dilakukan pengamatan terhadap rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar abu, persen keutuhan dan warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keripik nenas yang diberi kitosan menghasilkan rendemen dan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan. Kitosan dapat mengurangi penyerapan minyak selama penggorengan sehingga kadar lemak keripik nenas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan. Tetapi keripik nenas yang diberi kitosan berwarna lebih coklat dan lebih gelap dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan.
Kajian Penggunaan Edible Coating dari Kitosan untuk Membuat Keripik Nenas Rendah Lemak” - ResearchGate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/210256638_Kajian_Penggunaan_Edible_Coating_dari_Kitosan_untuk_Membuat_Keripik_Nenas_Rendah_Lemak [accessed Jun 25, 2015].
PANEN DAN PASCAPANEN BUAH SAWIT
Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3 – 4 tahun
dan buahnya menjadi masak 5 – 6 bulan setelah penyerbukan. Tandan buah segar (TBS) dipanen saat kematangan
buah tercapai dengan ditandai oleh sedikitnya 1 brondolan telah lepas/kg TBS.
Dengan kriteria panen ini, diharapkan kandungan minyak dalam TBS optimal dengan
kandungan asam lemak bebas (ALB) yang sangat rendah dan biaya panen yang
relatif lebih ekonomi.
Hasil yang
dapat diperoleh dari TBS ialah minyak sawit yang terdapat pada daging buah
(mesokarp) dan minyak inti sawit yang
terdapat pada kernel. Kedua jenis minyak ini berbeda dalam hal komposisi asam
lemak dan sifat fisika-kimia. Minyak sawit dan minyak inti sawit mulai
terbentuk sesudah 100 hari setelah penyerbukan dan berhenti setelah 180 hari
atau setelah dalam buah minyak sudah jenuh. Jika dalam buah sudah tidak terjadi
pembentukan minyak, maka yang terjadi adalah pemecahan trigliserida menjadi
asam lemak bebas dan gliserol. Pembentukan minyak berakhir jika dari tandan
yang bersangkutan telah terdapat buah memberondol normal.
Minyak yang
mula-mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak
bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan
trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Minyak yang terbentuk dalam daging buah
maupun dalam inti terbentuk emulsi pada kantong-kantong minyak, dan agar minyak
tidak keluar dari buah, maka buah dilapisi dengan malam yang tebal dan
berkilat.
Untuk
melindungi minyak dari oksidasi yang dirangsang oleh sinar matahari maka
tanaman tersebut membentuk senyawa kimia pelindung yaitu karoten. Setelah
penyerbukan kelihatan buah berwarna hitam kehijau-hijauan dan setelah terjadi
pembentukan minyak terjadi perubahan warna buah menjadi ungu kehijau-hijauan.
Pada saat-saat pembentukan minyak terjadi yaitu trigliserida dengan asam lemak
tidak jenuh, tanaman membentuk karoten dan phitol untuk melindungi dari
oksidasi, sedangkan klorofil tidak mampu menjadi antioksidan.
Penentuan saat panen sangat mempengaruhi kandungan asam lemak bebas (ALB)
minyak sawit yang dihasilkan. Apabila pemanenan buah dilakukan dalam keadaan
lewat matang, maka minyak yang dihasilkan mengandung ALB dalam presentase
tinggi ( lebih dari 5 %). Sebaliknya jika pemanenan dilakukan dalam keadaan
buah belum matang, maka selain kadar ALB-nya rendah, rendemen minyak yang
diperolehnya juga rendah.
Pengetahuan mengenai kriteria matang panen sangat dibutuhkan agar didapat
hasil panen dengan rendemen minyak yang tinggi dengan kadar asam lemak bebas
yang rendah. Kriteria matang panen berdasarkan jumlah berondolan yang jatuh
berperan cukup penting dalam menentukan derajat kematangan buah. Berdasarkan
hal tersebut di atas, dikenal ada beberapa tingkatan atau fraksi dari TBS yang
dipanen. Fraksi-fraksi tersebut sangat mempengaruhi mutu panen, termasuk juga kualitas
minyak sawit yang dihasilkan. Ada tujuh fraksi dan derajat kematangan TBS yang
baik, derajat kematangan TBS untuk dipanen berada pada fraksi 2 dan 3.
Kriteria Kematangan Buah Kelapa Sawit
Fraksi buah
|
Kategori
|
Persyaratan
|
Jumlah brondolan
|
Fraksi 00 (F-00)
Fraksi 0 (F-0)
|
Sangat mentah (afkir)
Mentah
|
0,0%
Maks. 3,0%
|
Tidak ada
1 – 12,5% buah luar
|
Fraksi 1
Fraksi 2
Fraksi 3
|
Kurang matang
Matang I
Matang II
|
F1+F2+F3
min 85%
|
12,5%-25% buah luar
25-50% buah luar
50-75% buah luar
|
Fraksi 4
Fraksi 5
|
Lewat matang
Terlalu matang
|
Maks. 10%
Maks. 2,0%
|
>75% buah luar
Buah dalam
membrondol
|
Brondolan
Tandan kosong
Buah busuk
Panjang tangkai TBS
|
|
Maks. 10%
0,0%
0,0%
Maks. 2,5 cm
|
|
Catatan: dari hasil sampling TBS, diperoleh besaran
Nilai Sortasi Panen (NSP) dengan rumus :
NSP = -5 (FOO) -1 (FO) + 1 (F1+2+3) + 0,5
(F5)
NSP
yang memenuhi syarat adalah 80 – 100%
Sistem panen kelapa sawit dapat menghasilkan minyak sawit bermutu baik
jika sistem panen memenuhi standar tertentu. Standar sistem panen yang ditentukan
adalah: (1) tidak ada buah mentah yang dipanen, (2) tidak meninggalkan buah
matang, (3) semua berondolan dikumpulkan dan dibawa ke tempat pengumpulan hasil
(TPH) dalam kondisi bersih, (4) membrondolkan tandan yang terlalu matang, (5)
memotong gagang/tangkai tandan, dan (6) pelepah harus dipotong dengan baik.
Agar ALB minimum, pengangkutan
buah panen harus dilakukan sesegera mungkin. Selain itu juga perlu dijamin
bahwa hanya buah yang cukup matang yang dipanen. Siklus panen yang pendek (7
hari atau kurang) dapat diterapkan untuk menjamin bahwa buah yang dipanen tidak
lebih dari 3 hari dari saat matang optimum.
Kandungan
asam lemak bebas buah sawit yang baru dipanen biasanya kurang dari 0,3%. ALB
minyak yang diperoleh dari buah yang tetap berada dijanjang sebelum diolah (dan
tidak mengalami memar) tidak pernah melewati 1,2%. Sedangkan ALB brondolan
biasanya sekitar 5,0%. Di lain pihak, sangat jarang diperoleh ALB di bawah 2%
pada crude palm oil (CPO) hasil
produksi pabrik kelapa sawit (PKS), biasanya sekitar 3%. Peningkatan ALB yang
mencapai sekitar 20 kali ini terjadi karena kerusakan buah selama proses panen
sampai tiba di ketel perebusan. Kemungkinan penyebab utama kerusakan terjadi
saat pengisian buah di tempat pemungutan, penurunan buah di
tempat pengumpulan hasil, pengisian buah ke alat transportasi pembawa buah ke
pabrik, penurunan buah di loading ramp dan pengisian buah ke lori. TBS yang
memar akan membawa lebih banyak tanah dan kotoran yang akan membantu
mempercepat kenaikan ALB oleh karena kontaminasi mikroorganisme, sekaligus
menjadi sumber kontaminasi logam, diantaranya besi yang menjadi pro-oksidan proses
hidrolisis minyak. Asam lemak bebas terbentuk
karena adanya kegiatan enzim lipase yang terkandung di dalam buah dan berfungsi
memecah lemak/minyak menjadi asam lemak dan gliserol. Kerja enzim tersebut
semakin aktif bila struktur sel buah
matang mengalami kerusakan. Kerusakan
buah saat panen selain
berpengaruh terhadap ALB juga menurunkan daya pemucatan CPO. Warna inti juga
menjadi lebih gelap pada buah yang
rusak atau lewat matang.
Faktor transportasi dalam pengelolaan kebun kelapa sawit memiliki peran
yang cukup penting. Keterlambatan pengangkutan TBS ke PKS (restan) akan
mempengaruhi proses pengolahan, kapasitas olah, dan mutu produk akhir.
Pengangkutan TBS diusahakan dengan menghindari pelukaan pada buah.
Pengangkutan TBS bertujuan mengirimkan TBS dan brondolan ke pabrik dalam
keadaan baik melalui penanganan secara hati-hati dan menjaga jadwal pengiriman
TBS secara tepat, sehingga minyak yang dihasilkan berkualitas baik dan pabrik
kelapa sawit bekerja secara optimal. Kegiatan transpor buah merupakan mata
rantai dari tiga faktor yaitu panen, pengangkutan dan pengolahan. Ketiga faktor
tersebut merupakan faktor terpenting dan saling mempengaruhi. Efisiensi
pengangkutan TBS akan tercapai apabila unit angkutan memuat TBS secara maksimal
dengan waktu seefisien mungkin.
Pada stasiun penerimaan buah, TBS yang berasal dari kebun pertama kali
diterima dan ditimbang di jembatan timbang. Setelah itu, buah dibawa ke tempat
penampungan buah (loading ramp). Saat buah akan dituangkan (didump),
dilakukan penyortiran buah. Sortasi buah yang dilakukan adalah sortasi untuk
mengamati mutu buah yang diterima di PKS dan dilaksanakan di pelataran buah.
Penyortiran tersebut bertujuan untuk memilih buah (TBS) yang layak/baik diolah
di pabrik, sehingga dapat menghasilkan produk yang memenuhi standar produksi
dari segi kualitas, kuantitas, dan kelangsungan alat produksi.
TBS yang telah sampai di loading
ramp sebaiknya segera diolah. Lama
penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari dua hari. Penyimpanan yang lebih lama
dapat menyebabkan kerusakan minyak. Tandan yang pertama disimpan harus pertama
yang diolah (first in, first out). Sumber: Buana L, Siahaan D, Adiputra
S. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa
Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Naibaho PM. 1998.
Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Ketaren S.
1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan.
UI Press. Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)