Monday, June 29, 2015

Oleokimia Dasar: Fatty Amine

Aminasi merupakan proses pereaksian grup amino (-NH2) dengan bahan organik.  Selama bertahun-tahun tahapan pereaksian grup amino ke molekul alkil diawali dengan menambahkan grup nitro (-NO2), dan selanjutnya dilakukan proses pereduksian hingga menjadi grup amino (-NH2).  Proses pereduksian ini harus dilakukan pada tekanan tinggi dengan bantuan katalis.  Tanpa tekanan tinggi dan katalis, pereduksian harus dilakukan dengan menggunakan reagen yang berfungsi di bawah tekanan atmosfir, seperti besi dan asam, seng dan alkali, sodium sulfida atau polisulfida, sodium hidrosulfit, electrolytic hydrogen, dan hidrat logam.  Proses aminasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan amoniak (NH3).  Reaksi aminasi menggunakan amoniak dilakukan untuk menghasilkan amina alifatik dan amina aromatik.

Oleokimia Dasar: Fatty Alkohol

Fatty alcohol merupakan bahan dasar utama pembuat surfaktan untuk kebutuhan detergen dan personal care, pada pertumbuhannya penggunaan fatty alkohol menjadikan kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Fatty alkohol ini sangat difavoritkan untuk menjadi sumber utama pembuat surfaktan karena sifatnya yang biodegradable dan renewable, sebetulnya fatty alkohol pun dapat dibuat dari minyak bumi, karena tren perminetaan lebih ke arah minyak nabati, maka yang paling bagus menurut Gregorio (2005) adalah yang berasal dari asam laurat, yang sekarang banyak dikembangkan di negara-negara tropis seperti indonesia.
Pembuatan fatty alkohol dapat melalui 3 cara yaitu dengan transesterifkasi kemudian dihidrogenasi, esterifikasi kemudian di hidrogenasi, atau dapat dengan cara langsung menghidrogenasi minyak. 
Prinsip pembuatan fatty alkohol adalah reaksi hidrogenasi. Yang dihidrogenasi bisa berupa asam lemak, lemak (trigliserida) dan metil ester. Reaksinya dibantu dengan katalis, seperti copper chromite, nickel, zinc, Mangan, Cobalt, mercury, dan lain-lain. 
Bila  bahan yang digunakan berupa asam lemak, alkohol yang dihasilkan dapat direcovery akan tetapi senyawa asam ini menyebabkan korosi terhadap peralatan produksi. Sedangkan bila yang digunakan gliserida akan menghasilkan by produk berupa gliserol tapi sifatnya tidak stabil sehingga tidak dapat direcovery, tapi kebanyakan gliserida yang dipilih sebagai bahan baku karena alasan convenience dan biaya yang lebih rendah.
Fatty alkohol menghasilkan banyak produk turunan seperti poliglikol eter, fatty alkhohol sulfat, etoksilat, sulfosusinat, eter posfat, eter sulfat dan alkoksilat .

Referensi:
Austin, G. T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. 5th Ed. McGraw-Hill Book Company. New York.Hartley, C.W. 1977. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq). 2nd Ed. Longman Group Limited. New York.
Buana, L., D. Siahaan dan S. Adiputra. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Gunstone, F.D. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and Uses. Blackwill Publishing Ltd. Victoria.
Hambali, E., A. Suryani dan Yuslinawati. 2005. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit untuk Industri. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi. LPPM-IPB. Bogor
Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products., 5th ed. Vol. 2, 3 & 4, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York.
Ketaren S. 1986.  Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta
Naibaho, P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Poeloengan, Z., L. Buana dan Darnoko. 2000. Potensi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia. WARTA Pusat Pengembangan Kelapa Sawit (PPKS). Vol. 8. Medan.
Salunkhe, D.K.. 1992.World Oil Seed: Chemistry Teknology and Utilization, AVI Book, New York.

Oleokimia Dasar: Metil Ester

Metil ester dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi asam lemak atau transesterifikasi trigliserida. Esterifikasi adalah reaksi antara asam lemak dengan alkohol dengan bantuan katalis untuk membentuk ester. Umumnya katalis yang digunakan adalah katalis asam seperti asam sulfat. Reaksi esterifikasi bersifat dapat balik (reversible), sehingga jumlah air harus dibuang untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan dan untuk mendapatkan rendemen ester yang tinggi (Hui, 1996). Reaksi esterifikasi asam lemak untuk menghasilkan metil ester dapat dilihat sebagai berikut.
                                RCOOH      +    R`OH         asam    RCOOR` + H2
                                 Asam lemak     alkohol       katalis     ester          air           
Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari suatu ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai hidrolisis. Namun berbeda dengan hidrolisis, pada proses transesterifikasi yang digunakan bukanlah air melainkan alkohol. Reaksi pemisahan ester menggunakan alkohol lebih spesifik disebut alkoholis. Pada reaksi ini terbentuk ester baru. Umumnya katalis yang digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau KOH. Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan (Hui, 1996).  Reaksi transesterifikasi ester dengan alkohol  untuk menghasilkan ester jenis baru dapat dilihat seperti di bawah ini.
                                     RCOOR      +    R`OH        NaOH    RCOOR` + R`OH 
                                  Ester                alkohol       katalis     ester          alkohol        
Menurut Hui (1996) transesterifikasi merupakan istilah yang umum. Lebih sepesifiknya, apabila larutan metanol yang digunakan, maka reaksi yang terjadi disebut metanolisis. Metanol umum digunakan karena harganya lebih murah, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan jenis alkohol lainnya. 
Menurut Gregorio C Grevarjio dalam buku Bailey Industrial Fat and Oil Menyatakan bahwa metil ester memiliki beberapa kelebihan yang membuat metil ester lebih populer dibandingkan dengan oleokimia  yang lain diantaranya:
1.      Dalam memproduksi metil ester energi yang dibutuhkan itu sangat minimal jika dibandingkan dengan memproduksi dan memisahkan jenis asam lemak tertentu
2.      Sifat metil ester yang tidak corrosive memudahkan untuk penggunaan alat-alat yang tidak terlalu mahal, disamping itu pula dalam memproduksi metil ester tidak diperlukan suhu dan tekanan yang tinggi, memudahkan pula dalam transportasi karena tidak memerukan perlakuan khusus.
3.      menghasilkan by produk berupa larutan glyserol yang lebih kental
4.      mudah dalam memfraksinasinya karena memiliki titik didih yang rendah.
. Metil ester melalui reaksi tertentu akan menghasilkan produk turunan lagi. Metil ester jika mengalami hidrogenasi akan menghasilkan fatty alkohol, dengan sulfonasi akan menghasilkan metil ester sulfonat dan melalui proses amidasi akan menghasilkan asam lemak alkanolamid 
Referensi:
Austin, G. T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. 5th Ed. McGraw-Hill Book Company. New York.Hartley, C.W. 1977. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq). 2nd Ed. Longman Group Limited. New York.
Buana, L., D. Siahaan dan S. Adiputra. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Gunstone, F.D. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and Uses. Blackwill Publishing Ltd. Victoria.
Hambali, E., A. Suryani dan Yuslinawati. 2005. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit untuk Industri. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi. LPPM-IPB. Bogor
Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products., 5th ed. Vol. 2, 3 & 4, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York.
Ketaren S. 1986.  Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta
Naibaho, P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Poeloengan, Z., L. Buana dan Darnoko. 2000. Potensi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia. WARTA Pusat Pengembangan Kelapa Sawit (PPKS). Vol. 8. Medan.
Salunkhe, D.K.. 1992.World Oil Seed: Chemistry Teknology and Utilization, AVI Book, New York.

  

Oleokimia Dasar : Asam Lemak dan Gliserol

Asam lemak dan gliserol merupakan senyawa penyusun trigliserida pada lemak/minyak. Oleh karena itu, asam lemak dan gliserol dapat diperoleh dengan menghidrolisis trigliserida (fat splitting).
Reaksi air dengan minyak/lemak menyebabkan putusnya beberapa ikatan ester dari minyak/lemak. Reaksi ini dapat dipercepat dengan menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi.
Menurut Austin (1984), hidrolisis minyak/lemak (fat splitting) dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu Twitchell, Batch Autoclave dan Continuous Countercurrent. Perbandingan ketiga metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan beberapa metode fat splitting

TWITCHELL
BATCH   AUTOCLAVE
CONTINUOUS COUNTERCURRENT
Temperatur, oC
100 - 105
150 - 175
240
250
Tekanan, MPag

5,2 - 10,0
2,9 - 3,1
4,1 - 4,9
Katalis
Alkyl-aryl sulfonic acids atau cycloaliphatic sulfonic acids
Zinc, calcium atau magnesium oxides,
1 – 2%
Tanpa katalis
Optional
Lama, jam
12 – 48
5 – 10
2 – 4
2 – 3
Sistem  operasi
Batch
Batch

Continuous
Terhidrolisa
85 – 95%
Diperoleh 5 – 15% larutan gliserol, tergantung banyaknya tahap dan jenis lemak
85 – 98%
Diperoleh 10 – 15% gliserol, tergantung banyaknya tahap dan jenis lemak
97 – 99%
Diperoleh 10 – 25% gliserol tergantung jenis lemak
Kelebihan
Temperatur dan tekanan yang digunakan rendah, dapat digunakan pada skala kecil, biaya awal rendah karena relatif sederhana dan peralatannya tidak mahal
Dapat digunakan pada skala kecil, biaya awal lebih rendah untuk skala kecil dibandingkan sistem continuous, lebih cepat dibandingkan Twitchell
Ruangan yang digunakan kecil, kualitas produk seragam, yield asamnya tinggi, konsentrasi gliserin tinggi, biaya tenaga kerja rendah, lebih akurat dan menggunakan kontrol otomatis, biaya tahunan lebih rendah.
Kekurangan
Perlu penanganan katalis, waktu reaksi lama, lemak kualitas rendah harus dimurnikan dulu dari asamnya untuk menghindari penghambatan katalis, konsumsi uap tinggi, asam yang terbentuk berwarna gelap, butuh lebih dari satu tahap untuk dapat yield dan konsentrasi gliserin yang tinggi, tidak dapat menggunakan kontrol otomatis, biaya tenaga kerja tinggi
Biaya awal tinggi, perlu penanganan katalis, reaksi lebih lama dibandingkan continuous, tidak dapat menggunakan kontrol otomatis, biaya tenaga kerja tinggi, butuh lebih dari satu tahap untuk mendapat yield dan konsentrasi gliserin yang tinggi
Biaya awal tinggi, Temperatur dan tekanan yang digunakan tinggi, memerlukan kemampuan operasi yang lebih baik

Menurut Gervasio (1996), selain tiga cara yang telah disebutkan di atas (Twitchell, Batch Autoclave dan Continuous Countercurrent) yang prinsipnya hidrolisis dengan suhu dan tekanan tinggi,  lemak dan minyak dapat dihidrolisis dengan bantuan enzim. Enzim pemecah lemak diperoleh dari Candida rugosa, Aspergillus niger dan Rhizopus arrhizu. Pemecahan lemak menggunakan enzim lipolitik membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu reaksi yang lama sehingga tidak komersial.
Gliserol yang dihasilkan pada proses fat splitting ini berupa larutan yang mengandung gliserol 12% yang disebut juga dengan sweet water.  Untuk mendapatkan gliserol murni perlu dihilangkan komponen nongliserol dari larutan tersebut. Evaporasi dilakukan untuk mengurangi jumlah air sehingga konsentrasi larutan menjadi lebih tinggi (78%). Evaporasi hanya menghilangkan air, sedangkan komponen nongliserol lain seperti asam lemak (0,2%) masih terdapat dalam larutan tersebut. Untuk memisahkannya maka perlu ditambahkan sedikit caustik (senyawa basa) sehingga terjadi proses penyabunan (saponifikasi) dimana asam lemak akan berubah menjadi dalam bentuk garam sehingga ketika didestilasi komponen tidak terikut bersama gliserol. Selain asam lemak, komponen yang akan dihilangkan adalah warna. Oleh karena itu, dilanjutkan dengan proses bleaching, yaitu dengan menambahkan activated cachoa, yang memiliki pori-pori aktif yang dapat menyerap warna. Gliserol dapat juga di upgrade dengan proses pertukaran ion (ion-exchange) diikuti dengan evaporasi sehingga proses destilasi dapat ditiadakan, atau alternatif lain gliserol diekstrak dari larutan melalui pertukaran ion.
Dengan pemurnian gliserol di atas, akan diperoleh refined glyserol (99%). Diagram alir pemurnian gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Selain berasal dari proses fat splitting untuk memproduksi asam lemak, gliserol juga merupakan by product dari beberapa proses industri oleokimia yaitu saponification untuk memproduksi sabun serta transesterification untuk memproduksi biodiesel (ester asam lemak).

Referensi:
Austin, G. T. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. 5th Ed. McGraw-Hill Book Company. New York.Hartley, C.W. 1977. The Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq). 2nd Ed. Longman Group Limited. New York.
Buana, L., D. Siahaan dan S. Adiputra. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Gunstone, F.D. 2004. The Chemistry of Oils and Fats: Sources, Composition, Properties and Uses. Blackwill Publishing Ltd. Victoria.
Hambali, E., A. Suryani dan Yuslinawati. 2005. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit untuk Industri. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi. LPPM-IPB. Bogor
Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products., 5th ed. Vol. 2, 3 & 4, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York.
Ketaren S. 1986.  Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta
Naibaho, P.M. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Poeloengan, Z., L. Buana dan Darnoko. 2000. Potensi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia. WARTA Pusat Pengembangan Kelapa Sawit (PPKS). Vol. 8. Medan.
Salunkhe, D.K.. 1992.World Oil Seed: Chemistry Teknology and Utilization, AVI Book, New York. 


Thursday, June 25, 2015

OLEOKIMIA DASAR

Oleokimia adalah bahan kimia yang diturunkan dari minyak atau lemak melalui proses splitting triasilgliserol menjadi derivat asam-asam lemaknya dan gliserol. Minyak atau lemak dapat berupa minyak nabati atau hewani dan proses splitting dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis.
Oleokimia ekuivalen dengan petrokimia, perbedaan utamanya terletak pada sumber bahan dasarnya. Petrokimia diturunkan dari petroleum atau minyak bumi/minyak mineral (mineral oil). Posisi petrokimia kini sudah mulai digantikan oleh oleokimia. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki oleh oleokimia, yaitu produk yang terbarukan (renewable), biodegradable dan lebih aman yang semuanya berhubungan dengan masalah lingkungan. Karbondioksida yang dihasilkan dari hasil reaksi oleokimia terjerat di atmosfer hanya beberapa bulan atau beberapa tahun yang waktunya lebih cepat dibandikngkan dari hasil reaksi dari petrokimia. Produk oleokimia juga mudah terdegradasi secara alami dalam waktu yang lebih singkat.
Bahan dasar oleokimia dapat berupa minyak/lemak nabati dan hewani. Sumber minyak nabati yang dapat digunakan adalah yang tergolong tropical oil, seperti minyak sawit (palm oil), minyak inti sawit (palm kernel oil) dan minyak kelapa (coconut oil) dan yang tergolong soft oil, seperti minyak kedelai (soya oil), sunflower oil,  dan rape oil. Sumber minyak/lemak hewani yang dapat digunakan adalah lemak sapi (tallow),lemak babi (lard) dan unggas (poultry).

Oleokimia yang paling dasar adalah asam-asam lemak dan gliserol, Asam-asam lemak dan gliserol ini didapat dari trigliserida yang menjadi unsur penyusun minyak/lemak nabati atau hewani. Oleokimia dasar yang banyak diproduksi adalah asam lemak (fatty acid), gliserol,  metil (atau golongan alkil yang lain) ester, fatty alkhohol dan fatty amine. Umumnya, oleokimia dasar diproduksi oleh negara berkembang yang kemudian bahan tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi produk akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi.
Proses pembuatan produk turunan minyak/lemak untuk menjadi produk-produk oleokimia dapat dilakukan proses hidrolisis, esterifikasi, transesterifikasi, epoksidasi, etoxylasi, konjugasi, sulfatasi, amidasi, Hidrogenasi, Propoxylasi,

Kajian Penggunaan Edible Coating dari Kitosan untuk Membuat Keripik Nenas Rendah Lemak”

Pemberitaan Ilmiah PERCIKAN 01/2009; 103:113 - 117.

Penulis:
Yernisa dan Fitry Tafzi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Keripik merupakan makanan ringan yang tergolong jenis makanan crackers dan kandungan lemaknya tinggi. Kandungan minyak yang terserap pada keripik dapat merugikan produsen dan konsumen..Salah satu cara untuk menurunkan kandungan lemak pada keripik nenas adalah dengan melapisi permukaan buah nenas dengan suatu film yang dapat dimakan (edible coating). Salah satu bahan edible coating yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan adalah kitosan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penggunaan kitosan sebagai bahan edible coating untuk mengurangi penyerapan minyak pada pembuatan keripik nenas. Perlakuan yang dicobakan adalah konsentrasi keripik nenas yaitu 0; 1 %; 1,5 % dan 2 %. Terhadap keripik nenas yang dihasilkan dilakukan pengamatan terhadap rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar abu, persen keutuhan dan warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keripik nenas yang diberi kitosan menghasilkan rendemen dan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan. Kitosan dapat mengurangi penyerapan minyak selama penggorengan sehingga kadar lemak keripik nenas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan. Tetapi keripik nenas yang diberi kitosan berwarna lebih coklat dan lebih gelap dibandingkan dengan yang tidak diberi kitosan.
Kajian Penggunaan Edible Coating dari Kitosan untuk Membuat Keripik Nenas Rendah Lemak” - ResearchGate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/210256638_Kajian_Penggunaan_Edible_Coating_dari_Kitosan_untuk_Membuat_Keripik_Nenas_Rendah_Lemak [accessed Jun 25, 2015].

PANEN DAN PASCAPANEN BUAH SAWIT


Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3 – 4 tahun dan buahnya menjadi masak 5 – 6 bulan setelah penyerbukan. Tandan buah segar (TBS) dipanen saat kematangan buah tercapai dengan ditandai oleh sedikitnya 1 brondolan telah lepas/kg TBS. Dengan kriteria panen ini, diharapkan kandungan minyak dalam TBS optimal dengan kandungan asam lemak bebas (ALB) yang sangat rendah dan biaya panen yang relatif lebih ekonomi.
Hasil yang dapat diperoleh dari TBS ialah minyak sawit yang terdapat pada daging buah (mesokarp) dan   minyak inti sawit yang terdapat pada kernel. Kedua jenis minyak ini berbeda dalam hal komposisi asam lemak dan sifat fisika-kimia. Minyak sawit dan minyak inti sawit mulai terbentuk sesudah 100 hari setelah penyerbukan dan berhenti setelah 180 hari atau setelah dalam buah minyak sudah jenuh. Jika dalam buah sudah tidak terjadi pembentukan minyak, maka yang terjadi adalah pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Pembentukan minyak berakhir jika dari tandan yang bersangkutan telah terdapat buah memberondol normal.
Minyak yang mula-mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Minyak yang terbentuk dalam daging buah maupun dalam inti terbentuk emulsi pada kantong-kantong minyak, dan agar minyak tidak keluar dari buah, maka buah dilapisi dengan malam yang tebal dan berkilat.
Untuk melindungi minyak dari oksidasi yang dirangsang oleh sinar matahari maka tanaman tersebut membentuk senyawa kimia pelindung yaitu karoten. Setelah penyerbukan kelihatan buah berwarna hitam kehijau-hijauan dan setelah terjadi pembentukan minyak terjadi perubahan warna buah menjadi ungu kehijau-hijauan. Pada saat-saat pembentukan minyak terjadi yaitu trigliserida dengan asam lemak tidak jenuh, tanaman membentuk karoten dan phitol untuk melindungi dari oksidasi, sedangkan klorofil tidak mampu menjadi antioksidan.
Penentuan saat panen sangat mempengaruhi kandungan asam lemak bebas (ALB) minyak sawit yang dihasilkan. Apabila pemanenan buah dilakukan dalam keadaan lewat matang, maka minyak yang dihasilkan mengandung ALB dalam presentase tinggi ( lebih dari 5 %). Sebaliknya jika pemanenan dilakukan dalam keadaan buah belum matang, maka selain kadar ALB-nya rendah, rendemen minyak yang diperolehnya juga rendah.
Pengetahuan mengenai kriteria matang panen sangat dibutuhkan agar didapat hasil panen dengan rendemen minyak yang tinggi dengan kadar asam lemak bebas yang rendah. Kriteria matang panen berdasarkan jumlah berondolan yang jatuh berperan cukup penting dalam menentukan derajat kematangan buah. Berdasarkan hal tersebut di atas, dikenal ada beberapa tingkatan atau fraksi dari TBS yang dipanen. Fraksi-fraksi tersebut sangat mempengaruhi mutu panen, termasuk juga kualitas minyak sawit yang dihasilkan. Ada tujuh fraksi dan derajat kematangan TBS yang baik, derajat kematangan TBS untuk dipanen berada pada fraksi 2 dan 3.
Kriteria Kematangan Buah Kelapa Sawit
Fraksi buah
Kategori
Persyaratan
Jumlah brondolan
Fraksi 00 (F-00)
Fraksi 0 (F-0)
Sangat mentah (afkir)
Mentah
0,0%
Maks. 3,0%
Tidak ada
1 – 12,5% buah luar
Fraksi 1
Fraksi 2
Fraksi 3
Kurang matang
Matang I
Matang II
F1+F2+F3
min 85%
12,5%-25% buah luar
25-50% buah luar
50-75% buah luar
Fraksi 4
Fraksi 5
Lewat matang
Terlalu matang
Maks. 10%
Maks. 2,0%
>75% buah luar
Buah dalam membrondol
Brondolan
Tandan kosong
Buah busuk
Panjang tangkai TBS

Maks. 10%
0,0%
0,0%
Maks. 2,5 cm

Catatan:           dari hasil sampling TBS, diperoleh besaran Nilai Sortasi Panen (NSP) dengan rumus :                                                 
                       NSP = -5 (FOO) -1 (FO) + 1 (F1+2+3) + 0,5 (F5)                   
                        NSP yang memenuhi syarat adalah 80 – 100%                 

Sistem panen kelapa sawit dapat menghasilkan minyak sawit bermutu baik jika sistem panen memenuhi standar tertentu. Standar sistem panen yang ditentukan adalah: (1) tidak ada buah mentah yang dipanen, (2) tidak meninggalkan buah matang, (3) semua berondolan dikumpulkan dan dibawa ke tempat pengumpulan hasil (TPH) dalam kondisi bersih, (4) membrondolkan tandan yang terlalu matang, (5) memotong gagang/tangkai tandan, dan (6) pelepah harus dipotong dengan baik.
Agar ALB minimum, pengangkutan buah panen harus dilakukan sesegera mungkin. Selain itu juga perlu dijamin bahwa hanya buah yang cukup matang yang dipanen. Siklus panen yang pendek (7 hari atau kurang) dapat diterapkan untuk menjamin bahwa buah yang dipanen tidak lebih dari 3 hari dari saat matang optimum.
Kandungan asam lemak bebas buah sawit yang baru dipanen biasanya kurang dari 0,3%. ALB minyak yang diperoleh dari buah yang tetap berada dijanjang sebelum diolah (dan tidak mengalami memar) tidak pernah melewati 1,2%. Sedangkan ALB brondolan biasanya sekitar 5,0%. Di lain pihak, sangat jarang diperoleh ALB di bawah 2% pada crude palm oil (CPO) hasil produksi pabrik kelapa sawit (PKS), biasanya sekitar 3%. Peningkatan ALB yang mencapai sekitar 20 kali ini terjadi karena kerusakan buah selama proses panen sampai tiba di ketel perebusan. Kemungkinan penyebab utama kerusakan terjadi saat pengisian buah di tempat pemungutan, penurunan buah di tempat pengumpulan hasil, pengisian buah ke alat transportasi pembawa buah ke pabrik, penurunan buah di loading ramp dan pengisian buah ke lori. TBS yang memar akan membawa lebih banyak tanah dan kotoran yang akan membantu mempercepat kenaikan ALB oleh karena kontaminasi mikroorganisme, sekaligus menjadi sumber kontaminasi logam, diantaranya besi yang menjadi pro-oksidan proses hidrolisis minyak. Asam lemak bebas terbentuk karena adanya kegiatan enzim lipase yang terkandung di dalam buah dan berfungsi memecah lemak/minyak menjadi asam lemak dan gliserol. Kerja enzim tersebut semakin aktif  bila struktur sel buah matang mengalami kerusakan. Kerusakan buah saat panen selain berpengaruh terhadap ALB juga menurunkan daya pemucatan CPO. Warna inti juga menjadi lebih gelap pada buah yang rusak atau lewat matang.

Faktor transportasi dalam pengelolaan kebun kelapa sawit memiliki peran yang cukup penting. Keterlambatan pengangkutan TBS ke PKS (restan) akan mempengaruhi proses pengolahan, kapasitas olah, dan mutu produk akhir. Pengangkutan TBS diusahakan dengan menghindari pelukaan pada buah.
Pengangkutan TBS bertujuan mengirimkan TBS dan brondolan ke pabrik dalam keadaan baik melalui penanganan secara hati-hati dan menjaga jadwal pengiriman TBS secara tepat, sehingga minyak yang dihasilkan berkualitas baik dan pabrik kelapa sawit bekerja secara optimal. Kegiatan transpor buah merupakan mata rantai dari tiga faktor yaitu panen, pengangkutan dan pengolahan. Ketiga faktor tersebut merupakan faktor terpenting dan saling mempengaruhi. Efisiensi pengangkutan TBS akan tercapai apabila unit angkutan memuat TBS secara maksimal dengan waktu seefisien mungkin.
  
Pada stasiun penerimaan buah, TBS yang berasal dari kebun pertama kali diterima dan ditimbang di jembatan timbang. Setelah itu, buah dibawa ke tempat penampungan buah (loading ramp). Saat buah akan dituangkan (didump), dilakukan penyortiran buah. Sortasi buah yang dilakukan adalah sortasi untuk mengamati mutu buah yang diterima di PKS dan dilaksanakan di pelataran buah. Penyortiran tersebut bertujuan untuk memilih buah (TBS) yang layak/baik diolah di pabrik, sehingga dapat menghasilkan produk yang memenuhi standar produksi dari segi kualitas, kuantitas, dan kelangsungan alat produksi.

TBS yang telah sampai di loading ramp  sebaiknya segera diolah. Lama penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari dua hari. Penyimpanan yang lebih lama dapat menyebabkan kerusakan minyak. Tandan yang pertama disimpan harus pertama yang diolah (first in, first out).                                                                                                                                                                                             Sumber:                                                                                                                                                     Buana L, Siahaan D, Adiputra S. 2003. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.                                                                                                   Naibaho PM. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.       Ketaren S. 1986.  Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.